Sabtu, 05 Maret 2016

Perhiasan Perempuan yang Mana Saja?


“DAN hendaknya mereka itu tidak menampak-nampakkan perhiasannya terhadap suami atau ayahnya,” (QS an-Nur: 31).

Pengarahan ini tertuju kepada perempuan-perempuan mu’minah, dimana mereka dilarang keras membuka atau menampakkan perhiasannya yang seharusnya disembunyikan, misalnya perhiasan telinga (anting-anting), perhiasan rambut (tusuk), perhiasan leher (kalung), perhiasan dada (belahan dadanya) dan perhiasan kaki (betis dan gelang kaki).

Semuanya ini tidak boleh dinampakkan kepada laki-laki lain. Mereka hanya boleh melihat muka dan kedua tapak tangan yang memang ada rukhsah untuk dinampakkan.

Akan tetapi semua larangan akan gugur, jikalau seorang perempuan menampakan perhiasannya kepada dua belas orang ini, siapa saja, ya?

Pertama, Suami. Yakni si suami boleh melihat isterinya apapun ia suka. Ini ditegaskan juga oleh hadis Nabi yang mengatakan, “Peliharalah auratmu, kecuali terhadap isterimu.”

Kedua, Ayah. Termasuk juga kakek, baik dari pihak ayah ataupun ibu.

Ketiga, Ayah mertua. Karena mereka ini sudah dianggap sebagai ayah sendiri dalam hubungannya dengan isteri.

Keempat, Anak-anak laki-lakinya. Termasuk juga cucu, baik dari anak laki-laki ataupun dari anak perempuan.

Kelima, Anak-anaknya suami. Karena ada suatu keharusan untuk bergaul dengan mereka itu, ditambah lagi, bahwa si isteri waktu itu sudah menduduki sebagai ibu bagi anak-anak tersebut.4

Keenam, Saudara laki-laki, baik sekandung, sebapa atau seibu.

Ketujuh, Keponakan. Karena mereka ini selamanya tidak boleh dikawin.

Kedelapan, Sesama perempuan, baik yang ada kaitannya dengan nasab ataupun orang lain yang seagama. Sebab perempuan kafir tidak boleh melihat perhiasan perempuan muslimah, kecuali perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki. Demikianlah menurut pendapat yang rajih.

Kesembilan, Hamba sahaya. Sebab mereka ini oleh Islam dianggap sebagai anggota keluarga. Tetapi sebagian ulama ada yang berpendapat: Khusus buat hamba perempuan (amah), bukan hamba laki-laki.

Kesepuluh, Keponakan dari saudara perempuan. Karena mereka ini haram dikawin untuk selamanya.
Kesebelas, Bujang/orang-orang yang ikut serumah yang tidak ada rasa bersyahwat. Mereka ini ialah buruh atau orang-orang yang ikut perempuan tersebut yang sudah tidak bersyahwat lagi karena masalah kondisi badan ataupun rasio. Jadi yang terpenting di sini ialah: adanya dua sifat, yaitu mengikut dan tidak bersyahwat.

Kedua belas, Anak-anak kecil yang tidak mungkin bersyahwat ketika melihat aurat perempuan. Mereka ini ialah anak-anak yang masih belum merasa bersyahwat. Kalau kita perhatikan dari kalimat ini, anak-anak yang sudah bergelora syahwatnya, maka orang perempuan tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada mereka, sekalipun anak-anak tersebut masih belum baligh.

Dalam ayat ini tidak disebut-sebut masalah paman, baik dari pihak ayah (‘aam) atau dari pihak ibu (khal), karena mereka ini sekedudukan dengan ayah, seperti yang diterangkan dalam hadis Nabi SAW, “Pamannya seseorang adalah seperti ayahnya sendiri,” (HR Muslim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Android Portal Indonesia